Pertanian seharusnya dijadikan alat pemersatu sebuah bangsa. Dan ternyata memang didalam kenyataannya sejarah peradaban dunia, tak ada satu pun negara besar dan maju yang mengesampingkan sektor pertanian mereka. Tak ada satu pun negara maju di dunia saat ini yang pertaniannya lemah, bahkan kekurangan pangan. Dalam perspektif negara maju, pertanian lebih diposisikan sebagai food security yang langsung berhubungan dengan keamanan negara. Dalam konteks Indonesia , revitalisasi pertanian akan berhasil dengan baik jika para petani ditempatkan sebagai subyek pembangunan. Paradigma pembangunan pertanian nasional selama ini lebih mengedepankan politik pangan murah, hingga membawa implikasi pada peran petani yang makin terpinggirkan. Kegagalan dunia pertanian kita selama ini ditandai oleh lemahnya posisi tawar (bargaining position) petani, lemahnya permodalan karena tiadanya akses kredit, kurangnya akses pasar, besarnay tekanan asing dalam perdagangan dan perundangan di Negara kita dan beberapa kondisi lainnya. Potensi negara agraris yang melimpah, kesuburan tanah yang melegenda, ternyata tak dapat dimanfaatkan sebagai sarana memakmurkan rakyat khususnya petani yang menggantungkan hidup di dalamnya. Kini keadaannya terbalik. Proses marjinalisasi telah dan sedang menggerogoti kehidupan petani. Sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar jumlah penduduk yang tergolong miskin, mencapai 16 persen dari total penduduk. Kantong-kantong kemiskinan tersebar di sentra-sentra pertanian dan pedesaan. Kini ada kecenderungan tingkat kesejahteraan petani menurun. Kini kondisi yang dialami petani kita tidak lepas dari kebijakan pembangunan yang bertahun-tahun kurang berpihak kepada petani.
Bagaimana membangun perekonomian yang pertumbuhannya terasa sampai ke mayoritas rakyat Indonesia? Tidak ada cara lain kecuali membangun sektor pertanian yang berkualitas dan terintegrasi dengan sektor industri dan perdagangan sehingga mampu menumbuhkan pusat ekonomi baru.
Sudah semestinya negara agraris dan maritim ini menjadikan sektor pertanian terintegrasi sebagai lokomotif penggerak ekonomi nasional.
Saat ini masih mantapnya pertumbuhan sektor pertanian tidak lain karena sumbangan subsektor pangan untuk konsumsi dalam negeri serta ekspor bahan mentah hasil perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Sebanyak 24,8 juta keluarga petani hidup dari subsektor pangan dan sejahtera saat harga beras, jagung, dan kedelai membaik hingga September 2008. Petani benar-benar memanfaatkan momentum ini karena pada saat yang bersamaan volume produksi pun naik.
Namun, kita patut menyayangkan. Meski kontribusi sektor pertanian sudah terbukti dalam perekonomian nasional, kebijakan pemerintah masih belum komprehensif. Sampai sekarang, pengembangan pertanian nasional masih belum terintegrasi dengan kebijakan perindustrian dan perdagangan.
Aturan yang bisa diandalkan untuk mengembangkan agroindustri jangka panjang sampai kini tak kunjung muncul. Malah kebijakan yang bersifat sementara lebih sering muncul untuk meredakan kasus per kasus. Kondisi ini ironis karena saat kita lupa menciptakan nilai tambah dalam produk pertanian, pasar domestik negara kepulauan terbesar di dunia ini terus diserbu produk impor.
Kenaikan impor bahan baku setengah jadi—yang sebenarnya bisa diperoleh di dalam negeri—tak terbendung. Dari Indikator Perdagangan Dunia 2008 yang diterbitkan Bank Dunia, rata-rata tarif bea masuk Indonesia pada 2006 sebesar 4,5 persen, lebih rendah daripada rata-rata tarif di Asia Timur dan Pasifik yang berada pada kisaran 4,9 persen, yang berpendapatan tinggi. Negara-negara berkembang berpendapatan menengah dan rendah saja menerapkan tarif rata-rata 8,7 persen.
Ironisnya lagi, tarif impor produk pertanian Indonesia tahun 2006-2007 6,5-7 persen. Paling rendah di Asia Pasifik. Ironis lagi, negara agraris seperti Indonesia memberikan tarif impor lebih murah untuk bahan baku produk pertanian ketimbang India, China, dan Brasil yang mampu mengekspor bahan jadi ke Eropa, Amerika Serikat, dan berbagai penjuru dunia.
Akan tetapi, bea masuk rendah untuk impor produk pertanian yang menjadi bahan baku proses produksi sungguh berisiko besar. Industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia semakin hari semakin terfragmentasi, tak terintegrasi dengan sektor pertanian sebagai hulunya. Kita harus menanggung kenyataan pahit ini saat produk mentah tak laku di pasar ekspor dan sulit bersaing di pasar domestik karena harga bahan baku impor lebih murah.
Industri pengolahan kakao, misalnya, memasok bahan baku impor, sementara Indonesia banyak mengekspor biji kakao. Karena buruknya penanganan pascapanen atau tidak adanya industri pengolah antara, industri hilir menjadi tidak efisien jika memanfaatkan bahan baku hasil pertanian dalam negeri. Industri kakao bak mati suri karena tekanan asing dan tingginya bunga bank . Sekali lagi pemerintah harus membuka mata terhadapa Industri kakao Nasional. Sulsel sebagai penghasil kakao terbesar semakin tahun produksinya semakin menurun dan tidak ada upaya signifikan untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Selain tidak terintegrasi optimal dengan industri pengolahan, hasil-hasil pertanian Indonesia juga tak jarang kalah bersaing dengan produk impor di pasar konsumsi domestik.
Adapun sektor pertanian, sudah tentu memakan waktu yang dimulai dari pembukaan lahan, penanaman bibit, perawatan, dan seterusnya. Belum lagi jika sebagian lahan terserang hama atau penyakit. Akhirnya, impor bahan baku lebih diprioritaskan untuk mendukung industri hilir. Kondisi ini yang terjadi pada Industri kakao dan industri gula nasional.
Dalam kasus Industri gula Nasional, Produsen gula lebih suka mengimpor gula mentah dari Brasil ketimbang membeli dari petani dengan dalih kualitas jelek. Padahal, gula mentah petani yang jelek itu dihasilkan oleh mesin giling pabrik yang umurnya lebih tua dari republik ini.
Mereka pun lalu mengimpor bahan baku untuk memproduksi di dalam negeri. Pemerintah baru kalang kabut saat hasil produksi, yang lebih murah dari produk lokal, kemudian membanjiri pasar domestik. Semakin terpuruklah petani tebu kita.
Semestinya, pemerintah kita tidak terbujuk rayuan negara lain untuk lebih mendorong ekspor bahan baku mentah. Sudah semestinya pemerintah lebih tegas dengan menciptakan pasar domestik bagi produk lokal sambil meminta importir bahan mentah mendirikan industri bahan jadi di Indonesia. Mereka yang mau melakukannya harus diberi berbagai insentif fiskal dan moneter supaya lebih bergairah mendirikan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan hulu.
Kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, sampai jagung semuanya andalan pertanian kita. Sudah cukup bangsa kita menjadi petani tanpa pernah mengecap keberhasilan industrialisasi pertanian. Seribu langkah pun dimulai dari satu langkah. Dalam waktu 10 tahun, Indonesia pasti menjadi negara industri pertanian termaju di dunia.
Bayangkan bila sektor pertanian, perikanan, peternakan serta perkebunan dapat tergarap dengan baik maka Pemerintah Indonesia menurut hasil analisa tim Kadin Indonesia akan meraih devisa USD 101,5 miliar kurun waktu 2010-2014 dari Komoditas strategis : beras, jagung, gula, kedelai. Komoditas unggulan ekspor:kelapa sawit,kopi,teh,kakao,ikan tuna, dan udang. Komoditas menyehatkan masyarakat : ternak sapi dan ayam. Komoditas popular:mangga, pisang, dan jeruk. Oleh karena itu sangat mudah membuat Indonesia sejahtera hanya serius mengurus Pertanian Indonesia maka dalam periode 10 Tahun nanti maka saya yakin Indonesia BEBAS KEMISKINAN. Insya Allah !!!
Bagaimana membangun perekonomian yang pertumbuhannya terasa sampai ke mayoritas rakyat Indonesia? Tidak ada cara lain kecuali membangun sektor pertanian yang berkualitas dan terintegrasi dengan sektor industri dan perdagangan sehingga mampu menumbuhkan pusat ekonomi baru.
Sudah semestinya negara agraris dan maritim ini menjadikan sektor pertanian terintegrasi sebagai lokomotif penggerak ekonomi nasional.
Saat ini masih mantapnya pertumbuhan sektor pertanian tidak lain karena sumbangan subsektor pangan untuk konsumsi dalam negeri serta ekspor bahan mentah hasil perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Sebanyak 24,8 juta keluarga petani hidup dari subsektor pangan dan sejahtera saat harga beras, jagung, dan kedelai membaik hingga September 2008. Petani benar-benar memanfaatkan momentum ini karena pada saat yang bersamaan volume produksi pun naik.
Namun, kita patut menyayangkan. Meski kontribusi sektor pertanian sudah terbukti dalam perekonomian nasional, kebijakan pemerintah masih belum komprehensif. Sampai sekarang, pengembangan pertanian nasional masih belum terintegrasi dengan kebijakan perindustrian dan perdagangan.
Aturan yang bisa diandalkan untuk mengembangkan agroindustri jangka panjang sampai kini tak kunjung muncul. Malah kebijakan yang bersifat sementara lebih sering muncul untuk meredakan kasus per kasus. Kondisi ini ironis karena saat kita lupa menciptakan nilai tambah dalam produk pertanian, pasar domestik negara kepulauan terbesar di dunia ini terus diserbu produk impor.
Kenaikan impor bahan baku setengah jadi—yang sebenarnya bisa diperoleh di dalam negeri—tak terbendung. Dari Indikator Perdagangan Dunia 2008 yang diterbitkan Bank Dunia, rata-rata tarif bea masuk Indonesia pada 2006 sebesar 4,5 persen, lebih rendah daripada rata-rata tarif di Asia Timur dan Pasifik yang berada pada kisaran 4,9 persen, yang berpendapatan tinggi. Negara-negara berkembang berpendapatan menengah dan rendah saja menerapkan tarif rata-rata 8,7 persen.
Ironisnya lagi, tarif impor produk pertanian Indonesia tahun 2006-2007 6,5-7 persen. Paling rendah di Asia Pasifik. Ironis lagi, negara agraris seperti Indonesia memberikan tarif impor lebih murah untuk bahan baku produk pertanian ketimbang India, China, dan Brasil yang mampu mengekspor bahan jadi ke Eropa, Amerika Serikat, dan berbagai penjuru dunia.
Akan tetapi, bea masuk rendah untuk impor produk pertanian yang menjadi bahan baku proses produksi sungguh berisiko besar. Industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia semakin hari semakin terfragmentasi, tak terintegrasi dengan sektor pertanian sebagai hulunya. Kita harus menanggung kenyataan pahit ini saat produk mentah tak laku di pasar ekspor dan sulit bersaing di pasar domestik karena harga bahan baku impor lebih murah.
Industri pengolahan kakao, misalnya, memasok bahan baku impor, sementara Indonesia banyak mengekspor biji kakao. Karena buruknya penanganan pascapanen atau tidak adanya industri pengolah antara, industri hilir menjadi tidak efisien jika memanfaatkan bahan baku hasil pertanian dalam negeri. Industri kakao bak mati suri karena tekanan asing dan tingginya bunga bank . Sekali lagi pemerintah harus membuka mata terhadapa Industri kakao Nasional. Sulsel sebagai penghasil kakao terbesar semakin tahun produksinya semakin menurun dan tidak ada upaya signifikan untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Selain tidak terintegrasi optimal dengan industri pengolahan, hasil-hasil pertanian Indonesia juga tak jarang kalah bersaing dengan produk impor di pasar konsumsi domestik.
Adapun sektor pertanian, sudah tentu memakan waktu yang dimulai dari pembukaan lahan, penanaman bibit, perawatan, dan seterusnya. Belum lagi jika sebagian lahan terserang hama atau penyakit. Akhirnya, impor bahan baku lebih diprioritaskan untuk mendukung industri hilir. Kondisi ini yang terjadi pada Industri kakao dan industri gula nasional.
Dalam kasus Industri gula Nasional, Produsen gula lebih suka mengimpor gula mentah dari Brasil ketimbang membeli dari petani dengan dalih kualitas jelek. Padahal, gula mentah petani yang jelek itu dihasilkan oleh mesin giling pabrik yang umurnya lebih tua dari republik ini.
Mereka pun lalu mengimpor bahan baku untuk memproduksi di dalam negeri. Pemerintah baru kalang kabut saat hasil produksi, yang lebih murah dari produk lokal, kemudian membanjiri pasar domestik. Semakin terpuruklah petani tebu kita.
Semestinya, pemerintah kita tidak terbujuk rayuan negara lain untuk lebih mendorong ekspor bahan baku mentah. Sudah semestinya pemerintah lebih tegas dengan menciptakan pasar domestik bagi produk lokal sambil meminta importir bahan mentah mendirikan industri bahan jadi di Indonesia. Mereka yang mau melakukannya harus diberi berbagai insentif fiskal dan moneter supaya lebih bergairah mendirikan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan hulu.
Kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, sampai jagung semuanya andalan pertanian kita. Sudah cukup bangsa kita menjadi petani tanpa pernah mengecap keberhasilan industrialisasi pertanian. Seribu langkah pun dimulai dari satu langkah. Dalam waktu 10 tahun, Indonesia pasti menjadi negara industri pertanian termaju di dunia.
Bayangkan bila sektor pertanian, perikanan, peternakan serta perkebunan dapat tergarap dengan baik maka Pemerintah Indonesia menurut hasil analisa tim Kadin Indonesia akan meraih devisa USD 101,5 miliar kurun waktu 2010-2014 dari Komoditas strategis : beras, jagung, gula, kedelai. Komoditas unggulan ekspor:kelapa sawit,kopi,teh,kakao,ikan tuna, dan udang. Komoditas menyehatkan masyarakat : ternak sapi dan ayam. Komoditas popular:mangga, pisang, dan jeruk. Oleh karena itu sangat mudah membuat Indonesia sejahtera hanya serius mengurus Pertanian Indonesia maka dalam periode 10 Tahun nanti maka saya yakin Indonesia BEBAS KEMISKINAN. Insya Allah !!!
sumber : http://profitunitytrade.blogspot.com/2010/03/serius-urus-pertanian-indonesia-2020.html
0 komentar:
Posting Komentar