Sabtu, 12 November 2011

Filled Under:

Pertanian Organik Meningkatkan Taraf Hidup Petani Bali

Share
Ketut Wiantara terlihat sangat senang. Wajahnya berseri-seri ketika bercerita. Bibirnya terus tersenyum. Padahal bau pesing menyengat dari ember di depannya. Ketut sedang memasukkan air kencing sapi dari ember kecil ke galon berukuran 750 liter. Air kencing sapi itu memang berperan penting meningkatkan pendapatannya dari bertani. ”Sekarang jauh berbeda,” katanya Sabtu lalu.
Petani di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng, sekitar 60 km utara Denpasar itu semula menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk bertani. Penggunaan bahan kimia yang terlalu banyak membuatnya rugi. “Pendapatan lebih sedikit sementara biaya untuk beli pupuk dan pestisida juga banyak,” katanya. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida terus menerus juga menurunkan kesehatan tanah. Akibatnya, jumlah panen makin hari makin berkurang. Maka, sejak tiga tahun lalu dia beralih menggunakan bahan organik untuk bertani. Salah satu bahannya adalah air kencing sapi tersebut.

Air kencing sapi itu berasal dari empat ekor sapi miliknya. Dari kandang, air kencing itu disalurkan melalui selang ke bak penampungan dari semen dengan kapasitas 1 kubik. Untuk menghilangkan amoniak, zat yang berbahaya bagi tanaman, air kencing disalurkan ke semacam tangga kecil dari semen setinggi 2 meter. Selama enam jam air diputar lalu dialirkan lagi ke kolam lain berkapasitas 1 kubik juga.

Setelah mengendap dan tanpa amoniak, air kencing itu dicampur air biasa dengan rasio 1 liter kencing sapi untuk 10 liter air. Air campuran itu ditampung di bak besar berkapasitas 1000 liter. Dari bak besar ini, pupuk cair organik itu mengalir melalui pipa kecil ke 25 are lahan miliknya. Bahan organik itu sebagai pupuk sekaligus pengendali hama.

Sabtu lalu, Ketut Wiantara sibuk memeriksa tanaman paprikanya. Di pohon setinggi 1 hingga 2 meter itu bergantungan buah paprika berwarna hijau ranum tanda akan segera dipanen. Tanaman paprika itu ada di lahan beratap dan berdinding plastik seluas 4 are. Ketut menggunakan teknologi irigasi tetes (semi hidroponik). Pupuk organik cair itu dia alirkan melalui pipa kecil yang berlubang di tiap bagian di mana tanaman paprika berada. Pupuk cair itu dan abu sekam terbungkus plastik menjadi media tanam paprika. Ketut tidak perlu tanah untuk menyuburkan tanaman yang terlihat segar-segar tersebut.

Selain tanaman paprika, di kawasan berhawa sejuk itu, Ketut juga menanam wortel, ketela rambat, selada, sayur hijau, dan stroberi. Dengan semua tanaman itu, sarjana ekonomi lulusan salah satu universitas di Singaraja itu kini bergantung sepenuhnya dari bertani. Ketut mengaku perubahan itu makin terasa setelah dia beralih pada pertanian organik.

Informasi tentang pertanian organik sendiri, menurutnya, diperoleh dari internet. Ketut dan petani lain di Bedugul mendapat bantuan komputer dan internet dari Microsoft, raksasa perusahaan teknologi informasi dunia. Dari internet, Ketut dan teman-temannya mendapat informasi tentang teknologi pertanian organik tersebut. “Kami pikir tidak susah untuk dicoba di tempat kami,” katanya.

Sebagai awalan, Ketut sendiri mencoba di 4 are lahannya. Dia pinjam modal dari bank Rp 30 juta untuk memulai praktik pertanian organik. Merasa hasilnya bagus, Ketut lalu mempraktikkannya di total 25 are lahan miliknya. Dia pinjam modal lagi Rp 70 juta.

Hasil pertanian organik itu memang lebih berlimpah. Dia mempekerjakan dua pekerja tetap dan empat pekerja harian untuk memeriksa, membersihkan, hingga memanen hasil tanaman itu. Kini dia bisa mendapat penghasilan Rp 10 juta per bulan dari pertanian tersebut. Pesawat televisi datar 21 inchi, satu set komputer, dan DVD player menghiasi ruang tamu. Antena parabola berada persis di sebelah sanggah rumah.

Hal yang sama juga dirasakan beberapa petani lain di Bedugul. Melalui Bali Organic Association (BOA), produk hasil petani yang tergabung dalam kelompok Tani Muda Mandiri itu dikirim ke konsumen di Denpasar dan Kuta. Misalnya saja Aero Catering Service di kompleks bandara Ngurah Rai Tuban yang tiap hari melayani minimal 2000 penumpang. Manik Organic dan Bali Budha, kios di Kuta, juga pelanggan sayur organik produksi Ketut dan petani lain di Bedugul.

Menurut Ketua BOA Ni Luh Kartini, pertanian organik memang mampu meningkatkan pendapatan petani di Bali. Sebab, dengan bertani organik, petani tidak lagi perlu pupuk kimia dan pestisida. “Petani jadi tidak bergantung pada perusahaan pupuk dan pestisida untuk mengelola pertaniannya,” katanya.

Adat dan budaya Bali pun, menurut Kartini, sangat mendukung pola pertanian organik. Tumpak bubuh dan penjor adalah dua contoh budaya Bali yang mendukung agar manusia tidak merusak alam. “Seluruh bagian penjor itu kan hasil pertanian. Jadi maknanya adalah agar kita menggunakan sumber daya alam yang sudah kita miliki, bukan dengan mengambil dari tempat lain. Apalagi sampai tergantung,” tuturnya.

Karena itu, Kartini melalui BOA juga gencar mengampanyekan pertanian organik itu ke berbagai tempat di Bali. Misalnya di Kintamani, Wongaya Gede, Petang, dan Pipid (Karangasem). “Mereka tinggal menggunakan sumber daya yang sudah ada di tempat masing-masing,” kata dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali itu.

Menggunakan sumber daya lokal, seperti halnya petani di Bedugul, dilakukan pula oleh petani di Wongaya Betan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Petani padi di kaki gunung Batukaru ini pun sudah beralih dari penggunaan bahan-bahan kimia ke bahan organik.

Kelompok petani Somya Pertiwi di Wongaya Betan bahkan lebih maju. Mereka membuat pusat pelatihan pertanian organik di tanah seluas sekitar 35 are dengan fasilitas balai pertemuan, kantor, perpustakaan, toko, hingga ruang menginap untuk tamu. Internet pun sudah ada di tempat berjarak sekitar 65 km utara Denpasar ini. Di pusat pelatihan ini pun ada tempat pengolahan padi dan produksi pupuk organik.

Bahan untuk pupuk organik di sini sedikit berbeda dengan petani di Bedugul yang hanya bersumber dari air kencing sapi. Petani di Wongaya Betan mencampur kotoran sapi dengan kotoran ayam dan pupuk kascing melalui teknik fermentasi. “Air kencing sapi hanya dipakai sebagai penambah cairan karena kandungan air di kotoran sapi tergolong kecil,” kata I Nengah Miasa, Ketua Kelompok Somya Pertiwi.

Menurut Miasa, petani di Wongaya Betan pun beralih ke pertanian organik sejak 2,5 tahun lalu. Meski demikian, mereka sudah merintisnya sejak 1997. “Waktu hanya beberapa orang yang sudah mencoba. Tapi karena tidak ada pihak yang mendukung jadi ya optimal,” kata Miasa.

Ni Luh Kartini, yang mulai mengenalkan pertanian organik di Wongaya Betan sejak 10 tahun lalu, mengakui pada saat itu pertanian organik memang termasuk hal baru bagi petani di Wongaya Betan. “Banyak petani ragu pertanian organik bisa meningkatkan jumlah panen,” ujarnya.

Melalui pendekatan intensif, termasuk bersama pemerintah setempat, petani kemudian mau beralih ke pertanian organik. Salah satu alasannya memang karena pertanian dengan bahan-bahan kimia ternyata makin menurunkan jumlah panen. “Biaya pengolahan makin tinggi karena mahalnya pupuk dan pestisida tapi pendapatan mereka makin menurun,” kata Kartini.

Petani setempat lalu mencoba pertanian organik. Mereka menggunakan pupuk sendiri dari kotoran ayam, kotoran sapi, pupuk kascing, dan air kencing sapi. Ternyata hasil mereka malah lebih bagus. Sebelumnya mereka mendapat padi 5 ton per hektar. Kini mereka bisa mendapat 6,2 hingga 7 ton per hektar. “Sebenarnya hasil panen kami tidak berbeda jauh. Tapi karena kami tidak mengeluarkan biaya untuk beli pupuk dan pestisida, jadi pendapatan kami lebih banyak,” aku Miasa.

Kini, 30 anggota subak Wongaya Betan seluruhnya menggunakan pupuk dan pembasmi hama organik di lahan seluas 98 hektar. “Tidak hanya pendapatan yang lebih baik, kami juga merasa lebih bahagia karena tidak lagi takut kena penyakit akibat pupuk kimia dan pestisida,” kata Miasa. (Anton Muhajir)

Sumber:www.balebengong.net

0 komentar:

Posting Komentar