Minggu, 08 April 2012

Filled Under:

Marx-Engels tentang Petani

Share
Abdulkarim
(Perhimpunan Muda)

 “...petani kecil kita, seperti semua golongan yang tersisa dari ragam produksi yang telah lalu, remuk-redam tanpa harapan. Dia adalah proletariat masa depan”(Frederick Engels, The Peasant Questions in France and Germany, MESW vol.2: 423)

I

Petani merupakan salah satu tema penting dalam karya-karya Marx dan Engels. Beberapa karya mereka bahkan ditujukan sepenuhnya membahas petani. Arti penting persoalan petani ini, dalam pandangan Marx dan Engels, bukan hanya karena secara demografis proporsi petani di banyak negeri Eropa seperti Irlandia, Sisilia, Andalusia, Rusia, dan Eropa Tengah masih besar hingga akhir abad ke-19, tapi juga karena peran produktif dan kedudukan dalam peta kekuatan politisnya. Di negeri-negeri yang sedang membentuk diri ke dalam wujud masyarakat kapitalis industri, seperti Inggris, Perancis, atau Jerman petani bukannya tidak ada, tapi di sana mereka sedang dalam masa kemundurannya didepak ke bangku paling belakang dalam ekonomi dan politik oleh kelas-kelas sosial baru (Engels, ibidiem, 420).

Claude Meillasoux menggambarkan masyarakat yang disebutnya masyarakat petani seperti yang masih menjadi ciri komuniti-komuniti pedesaan di beberapa bagian Afrika menjelang kolonisasi dan sebelum berkembangnya pasar mempunyai ciri-ciri: 1) penggunaan energi manusia dalam kerja pengolahan lahan, 2) penggunaan alat produksi individual yang memerlukan sedikit investasi tenaga kerja, 3) pembagian kerja non-metodik tapi lebih pada alokasi tugas-tugas antaranggota sels-sel reproduktif, 4) aksesibilitas pada lahan dan bahan mentah, dan 5) pemenuhan kebutuhan sendiri dalam arti komuniti memproduksi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan bekal ciri-ciri ini, Meillasoux membatasi petani sebagai orang yang hidup di lahan melalui kerja pertanian. Pengolahan lahan pertanian merupakan kegiatan dominan dalam arti menentukan semua organisasi sosial dalam komuniti serta mempengaruhi secara kuat kegiatan-kegiatan lain di luar pengolahann lahan (Meillasoux 1980: 160). Pada intinya, Meillasoux memasukkan semua komuniti sebagai komuniti petani selama adanya kegiatan produksi yang bertumpu pada pengolahan lahan. Definisi petani ini cukup memadai untuk memahami kegiatan produksi internal komuniti semata-mata dengan abai terhadap hubungan komuniti dengan satuan politik dan ekonomi yang lebih luas.

Dalam kepustakaan antropologi, keberadaan petani dipercaya sudah setua peradaban pertama yang muncul 6000 tahun lalu di Mesopotamia. Petani muncul dalam masyarakat negara yang pertama. Perbedaan mendasar antara petani dengan masyarakat primitif pengolah lahan terletak pada derajat keterlibatannya dengan suatu masyarakat yang lebih luas. Dalam masyarakat primitif yang lebih lanjut ketika pengolahan lahan sudah dilakukan, produsen benar-benar menguasai alat produksi, termasuk tenaga kerjanya sendiri dan menukarkan tenaga kerjanya sendiri dengan barang atau jasa lain sebagai padanan yang ditentukan menurut kebudayaannya. Keadaan ini berbeda dengan yang dialami petani. Petani selalu menjadi bagian dari sistem ekonomi, politik, dan budaya yang lebih luas dalam kedudukan yang lebih rendah. Eric Wolf, misalnya, mendefinisikan petani sebagai “pencocok tanam pedesaan yang menyerahkan surplus-surplus mereka kepada satu golongan penguasa yang dominan, yang menggunakan surplus-surplus itu untuk menunjang tingkat hidup mereka sendiri dan membagi-bagikan sisanya kepada golongan-golongan di dalam masyarakat yang tidak bertani melainkan harus diberi makan sebagai imbalan barang-barang dan jasa-jasa khusus yang mereka berikan” (Wolf 1985: 4-5).

Petani selalu menjadi bagian dalam suatu ragam produksi. Meski derajat mereka relatif sama, yaitu sebagai lapisan yang bawah masyarakat, tetapi kedudukan dalam hubungan produksi mereka tidaklah sama sepanjang sejarah. Dalam ragam produksi Asiatik, petani terkungkung dalam komuniti-komuniti swasembada yang menguasai tanah komunal. Kelebihan hasil produksi dari lahan olahan ini mereka diserahkan kepada pemerintah ‘di luar komuniti’ lewat upeti atau pajak. Upeti dan pajak ini kemudian digunakan oleh penguasa untuk mengorganisasi kerja-kerja pengairan dan administrasi.

Dalam masyarakat Jerman Kuno yang tidak terpengaruh oleh kekurangan air sehingga tidak memerlukan pengorganisasian irigasi, pengolah lahan tinggal dalam desa-desa mandiri yang menyekutukan diri ke dalam suatu ikatan ‘mark’ atau semacam konfederasi longgar atas desa induk dengan desa-desa cabang yang berkedudukan setara. Para pengolah lahan tinggal dalam keluarga-keluarga batih yang mengolah lahan bersama mlilk kesatuan desa. Keterikana mereka dengan petani-petani dari desa-desa lain sangat terbatas. Di atas semua desa ada kesatuan-kesatuan konfederatif membentuk sebuah negeri yang disimbolkan oleh keberadaan seorang raja. Tetapi, berlainan dengan masyarakat petani Asiatik, ‘desa’ tempat raja bertempat tinggal juga menggantungkan diri pada hasil dari lahan olahan bersama. Tidak ada bentuk-bentuk pengambilan surplus secara langsung (lih. Engels 1892: 77-93).

Petani bisa juga berkedudukan sebagai budak-budak penggarap lahan milik tuan-tuan mereka dalam ragam produksi perbudakan kuno seperti yang dipraktekkan Yunani-Romawi. Dalam ragam produksi ini petani tidak memiliki alat produksinya sendiri dan hidup dari belas kasihan tuannya yang bisa menjual atau membunuhnya. Dalam ragam produksi feodal, petani-petani hamba mengabdi pada tuan tanah feodal yang mengikatnya dalam hubungan tuan-hamba. Meski mereka memiliki lahan secara pribadi, namun hasil produksi mereka sebagian besar menjadi milik tuan mereka. Di saat lain, khususnya ketika ragam produksi kapitalis merasuk dalam proses pembentukan dirinya dalam suatu masyarakat, petani bisa saja menjadi penyewa yang membayar sejumlah tertentu uang atau in natura kepada pemilik lahan. Petani yang kehilangan lahan-lahan mereka, bisa menjual tenaga kerja mereka kepada pemilik lahan untuk memperoleh upah.

Jadi, dapat dikatakan bahwa petani tidak bisa dimasukkan ke dalam satu ragam produksi tertentu. Petani menjadi semacam konsep yang menaungi sejumlah hubungan-hubungan produksi yang berbeda-beda. Dalam pemikiran Marx dan Engels petani bukanlah kategori tunggal. Ketika menggunakan istilah petani, biasanya mereka sekadar merujuk pada penduduk yang mengandalkan produksi dari lahan. Oleh karena itu harus ada perhatian khusus terhadap konteks historis wilayah pembicaraan Marx dan Engels. Pada umumnya karya-karya Marx dan Engels yang menyebut petani, berkenaan dengan feodalisme atau dalam masa-masa pembentukan tatanan kapitalis.

Dalam formasi sosial kapitalis petani merupakan kelas sisa yang masih mewarisi hubungan produksi feodal tapi mulai memasuki hubungan produksi baru yang belum ada sebelumnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat pedesaan tempat petani berada, bisa ada banyak ‘kelas-kelas’ berbeda berkaitan dengan hubungan produksi berbeda. Dalam The Peasant Question in France and Germany (1894), misalnya, Engels mengurut kelas-kelas petani ke dalam: 1) petani kecil (small-holding peasant) yang sebagian besar memiliki sepetak lahan dan sebagian kecil lainnya hanya menyewa secuil lahan, 2) petani besar dan menengah yang membutuhkan pembantu dan sesekali bahkan pekerja harian dalam mengerjakan lahan-lahan mereka, 3) golongan petani pemilik lahan luas dan pertanian skala besar dengan pekerja harian (Engels op.cit: 421-2).

Petani yang tergolong petani kecil adalah pemilik atau penyewa secuil lahan tidak begitu luas secukup keluarganya bisa menggarapnya sendiri dan tidak terlalu kecil sehingga keluarganya masih bisa bertahan hidup darinya. Sama seperti pengrajin kecil, petani kecil berbeda dengan proletariat modern dalam arti mereka masih menguasai sarana kerja mereka sendiri. Engels menggolongkannya sebagai sisa-sisa ragam produksi lama (ibidiem: 422). Petani kecil abad ke-19 berbeda dengan ‘leluhur’ mereka seperti hamba pengolah lahan (serf), bondman, maupun petani bebas yang bisa terikat oleh sewa dan pelayanan feodal pada tuan-tuan feodal. Ada tiga perbedaan utama antara petani kecil dengan leluhur mereka, yaitu 1) mereka terbebas dari ikatan-ikatan pelayanan feodal sehingga lahan menjadi milik mereka sendiri, 2) karena faktor yang pertama, maka mereka kehilangan perlindungan, dan 3) mereka kehilangan separuh kegiatan-kegiatan produktif mereka. Sebelumnya petani sekeluarga membuat sendiri perkakas yang dibutuhkan dari bahan mentah di sekitar mereka tapi sekarang telah dibuat dalam industri skala besar kapitalis. Sebab-sebabnya tiada lain merangseknya ragam produksi kapitalis dalam proses formasi sosial masyarakat baru. Dalam formasi sosial kapitalis, petani kecil berada dalam kondisi terlemah dengan lilitan pajak, gagal panen, pembagian-pembagian warisan yang terus mendorong petani jatuh ke tangan para kapitalis-uang (lintah darat). Bagi Engels, “...petani kecil kita, seperti semua golongan yang tersisa dari ragam produksi yang telah lalu, tanpa harapan remuk-redam. Dia adalah proletariat masa depan”(ibidiem: 423). Dari pembedaan ini jelas Engels tidak hanya meyakini keragaman golongan petani berdasarkan luas lahan garapannya, tapi juga kedudukan petani dalam ragam-ragam produksi berbeda; kedudukan petani dalam ragam produksi feodal berbeda dengan kedudukan dalam formasi sosial kapitalis.

Dalam Peasant War in Germany (1871), Engels memasukkan petani besar ke dalam barisan borjuis sambil membedakan petani kecil dari kelas-kelas lainnya seperti proletar, lumpenproletar, atau borjuis kecil. Petani kecil sendiri dipilah-pilah ke dalam tiga golongan yang  berbeda kedudukannya dalam hubungan produksi, yaitu: 1) petani feodal yang masih menjalankan pelayanan feodal berupa corvée kepada tuan mereka yang terhormat; 2) petani penyewa yang kian hari kian terikat pada pemilik lahan karena nilai sewa yang tinggi dan tidak mempedulikan hasil panen. Bila panen gagal atau hasilnya sedikit, maka petani-petani jenis ini bisa kelaparan dan tidak bisa membayar sewa. Kehidupan mereka bergantung pada belas kasihan tuan tanah; dan 3) petani pemilik secuil petak lahan yang dalam banyak kasus menyandang beban hutang pada lintah darat seperti petani penyewa menyandang sewa berat kepada tuan tanah (Engels 1956/1871: 23-4).

Pembedaan serupa juga diberlakukan dalam Revolusi dan Kontra-revolusi di Jerman (1871). Dalam tulisan ini Engels membagi golongan petani ke dalam tiga kelas berbeda, yaitu pertama yang dalam bahasa Jerman disebut Gross dan Mittel-Bauern atau petani pemilik lahan yang cukup luas sehingga perlu mempekerjakan beberapa buruh tani. Kelas ini berada “di antara tuan tanah feodal yang tidak dikenai pajak dan para petani penggarap serta buruh tani” (Marx 2000/1896: 14). Kedua, kelas petani penyewa feodal yang sangat sulit membagikan keuntungan yang diperolehnya dan lebih sering mempermainkan kaum buruh tani demi kepentingan tuan tanah; dan ketiga adalah buruh tani yang “hidup dan mati dalam kemiskinan, kekurangan makanan, dan menjadi budak-budak tuan tanah” (Marx Marx, ibidiem).

Pembedaan-pembedaan golongan petani yang dilakukan Englels dan Marx di atas, selain untuk menunjukkan keragaman kelas dalam masyarakat yang tergolong petani, juga untuk menganalisis kedudukan kelas-kelas ini dalam aktivitas perpolitikan, afiliasi politik, dan kepentingan mereka dalam revolusi sosial. Dalam karya-karya mereka yang membahas peralihan dari feodalisme ke kapitalisme industri, bahasan tentang petani dihubungkan dengan asal-usul kelas borjuis dan proletariat. Selain dari agen-agen tuan feodal yang menjelang akhir abad ke-17 hingga abad ke-18 menjadi kian mandiri, borjuis-borjuis, terutama kaum pedagang muncul dari reruntuhan ekonomi pertanian juga. Petani-petani yang masih mempunyai kelebihan setelah semua kewajiban upeti dan pajaknya ditunaikan biasanya menjual kelebihan ini sebagai komoditi di pasar-pasar yang mulai bertebaran. Ketika keruntuhan pertanian, sebagian petani-petani ini melanjutkan peran mereka sebagai pedagang.

Dari akhir abad ke-13 hingga abad ke-15 para sejarawan banyak mencatat pemberontakan-pemberontakan kaum tani feodal Eropa. Pada masa-masa itu, keruntuhan kemakmuran secara tiba-tiba meningkatkan ketidakpuasan, depopulasi, resesi permukiman, bahkan tidak sedikit daerah pedesaan yang kehilangan penduduknya sama sekali. Dalam kasus Inggris, Marx menggambarkan puncak kehancuran feodalisme, dan dengan demikian kaum tani feodal, lewat penutupan-penutupan wilayah pertanian feodal serta penjualan-penjualan lahan pertanian oleh bangsawan yang bangkrut. Lewat pembelian-pembelian itu kaum borjuis kota memasukkan kapitalnya dalam usaha pertanian. Teknologi baru dikembangkan untuk produksi komoditi. Lahan-lahan petani diambil alih oleh pengusaha-pengusaha pertanian yang memproduksi susu, daging, dan sayur-mayur untuk pasaran regional. Penghapusan hubungan produksi tuan-hamba sekaligus menjadi proses pengusiran beribu-ribu kaum tani dari daerah pedesaan. Dalam pembahasan tentang Irlandia, Marx menggambarkan proses emigrasi yang massif kaum tani Irlandia baik ke kota-kota industri seperti Liverpool dan Menchester atau ke koloni baru di Amerika Utara (lih. Marx 2004/1867: 748-795). Petani-petani yang bertahan harus berhadapan dengan produksi berskala luas dengan curahan kapital yang besar. Kebertahanan sebagian kaum tani berlahan kecil yang mampu menyembulkan kepalanya dalam banjir kapitalisme ini bisa jadi karena kedudukan ekonomi mereka yang aneh. Dalam satu waktu yang berbarengan mereka sekaligus pemilik lahan, kapitalis, dan pekerja. Keuntungan yang mereka peroleh sebagai pemilik lahan adalah dari pemerasan diri sendiri setelah dikurangi pengeluaran aktual seperti perbaikan perkakas, pupuk, dan biaya angkut. Dengan menjadikan diri sendiri sebagai pekerja, maka pengeluaran untuk upah bisa ditekan serendah mungkin. Meski tidak sedikit yang terus bertahan hingga memasuki abad ke-20, perlahan tapi pasti kaum tani yang hidup di tepi fajar kapitalisme industri ini akan menjadi proletariat. Inilah kesimpulan Marx dan Engels; dan kesimpulan ini dipegang erat oleh Lenin.

Bahasan Lenin atas persoalan petani merupakan hasil perdebatan Lenin dengan Chayanov dan Kaum Mensheviks. Perdebatan itu berkisar pada persoalan kodrat ekonomi petani dan masa depannya dalam hempasan badai kapitalisme yang merambah perdesaan. Menurut Lenin, perambahan kapitalisme ini tidak hanya mempengaruhi logika produksi pertanian, tapi juga tingkat ketergantungan dalam proses produksi dan konsumsi rumah tangga petani. Sebagai bagian dari produksi kapitalisme, maka usaha-usaha pertanian harus menjadikan laba sebagai tujuan akhir. Artinya, perembesan kapitalisme membawa serta proses penghancuran ekonomi alamiah yang ditandai oleh produksi nilai-guna dan diganti produksi nilai-tukar. Untuk sampai ke sana, maka peningkatan terus-menerus kekuatan produktif seperti teknologi mesin, pupuk, dan transportasi, merupakan tekanan yang akan memilah petani ke dalam dua kelas, yaitu petani kaya atau borjuis desa di satu sisi, dan petani penggarap dan buruh tani di sisi lain. Petani-petani menengah sulit sekali bertahan, apalagi naik kelas menjadi borjuis desa. Yang sering terjadi, gagal panen dan masuknya kapital akan menjerembabkan petani kecil dan menengah menjadi buruh tani atau proletar. Kapitalisasi pertanian mengubah susunan kelas pedesaan. Peningkatan teknologi yang menyusutkan kebutuhan akan pekerja pertanian dan penghancuran industri pedesaan menyediakan sejumlah besar petan-petani tanpa lahan dan pekerja-pekerja lepas. Proletarisasi merupakan proses niscaya merangseknya kapitalisme ke dalam ekonomi pedesaan.

Dalam pemikiran Lenin, proses pemilahan karena pengaruh produksi komoditi kapitalisme di pedesaan menciptakan pasar internal kapitalisme. Pasar ini dicirikan oleh peningkatan pemusatan kepemilikan alat produksi (lahan) di tangan petani kaya dan peningkatan perdagangan komoditi konsumsi, baik konsumsi untuk produksi maupun untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari di semua lapisan sosial. Selain itu, muncul pula pasar tenaga kerja pedesaan sebagai akibat pemusatan kepemilikan atas lahan ini.

Pemikir Marxis lain yang menaruh perhatian terhadap persoalan petani adalah Karl Kautsky. Berbekal hasil amatan terhadap keadaan ekonomi pedesaan Jerman di ambang kejayaan kapitalisme, Kautsky menuturkan temuannya secara berbeda dibanding Lenin. Pertama-tama, Kautsky lebih menyoroti pengaruh industri perkotaan terhadap petani-petani penggarap dan produksi pedesaan pada umumnya. Menurutnya, bersamaan dengan berkembangnya niaga, industri kapitalis perkotaan mengikis habis industri tradisional pedesaan. Terkikisnya industri pedesaan jelas karena keterbelakangan perkakas produksi dan ketidakmungkinan penghisapan nilai-lebih yang bercakupan luas. Oleh karena itu, diiringi membanjirnya komoditi-komoditi murah hasil produksi industri kapitalis, muncul kebutuhan-kebutuhan baru ke dalam daftar konsumsi. Hal ini berujung pada keadaan yang menempatkan petani betul-betul murni sebagai penghasil pangan saja. Industri rumah tangga yang sebelumnya menghasilkan barang kebutuhan sehari-hari rumah tangga tani, lenyap. Petani bergantung pada pasar, baik untuk pemasaran hasil produksi, konsumsi kebutuhan rumah tangga, maupun perolehan tenaga kerja. Menurut Kautsky, “...perkembangan ragam produksi kapitalis di perkotaan saja sudah cukup mengubah sepenuhnya cara hidup lama petani, bahkan sebelum kapitalis memasuki produksi pertanian” (Kautsky dikutip Guimãer 2002: 59).

Berbeda dengan Lenin, meski Kautsky mengakui dampak kapitalisme cukup besar dalam mengubah ekonomi petani, Kautsky tidak melihat adanya kesamaan ciri mendasar antara kapitalisasi dalam industri dan dalam pertanian. Proses kapitalisasi dalam pertanian berjalan lambat. Hasilnya adalah pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas tidak niscaya menyisakan dua kelas yang berseberangan, yaitu borjuis dan proletar. Selain itu, usaha tani kecil tidak begitu saja lenyap. Bila di suatu wilayah usaha tani kecil-kecilan merupakan ragam produksi dominan, maka akan sulit bagi suatu usaha berskala besar berkembang baik, seburuk apa pun usaha tani kecil dan sehebat apa pun usaha tani besar itu.

Kesimpulan Kautsky ini muncul dari hasil amatannya terhadap keadaan Jerman dasawarsa 1880-an hingga awal abad ke-20 yang menunjukkan bahwa usaha tani kecil dan menengah justru mengalami perkembangan. Pada waktu bersamaan, di dalam sektor industri, industri-industri besar menggulung habis industri-industri kecil rumahan. Sebabnya, menurut Kaustky, adalah karena usaha tani kecil menyediakan pasokan bahan pangan bagi industrialisasi di perkotaan. Keterlambatan Jerman mengembangkan industri dan itu pun berpusat di perkotaan, menghasilkan usaha tani kecil dan (terutama) menengah terus bertahan hingga akhirnya industri kapitalis menjadi dominan.

Antropolog Marxis, Eric Wolf dalam kajiannya tentang revolusi-revolusi petani memilah-milah petani ke dalam golongan-golongan yang berbeda. Selain mendasarkan pembedaannya pada kedudukan petani dalam hubungan produksi, Wolf juga menekankan perhatian pada perbedaan sikap dan harapan terhadap keadaan sosial dan perubahannya. Menurut Wolf, kita musti membedakan “petani penyewa dan pemilik lahan, antara petani miskin dan petani kaya, antara penggarap yang juga pengrajin dan yang hanya membajak serta memanen, antara yang bertanggung jawab untuk semua operasi agrikultur di atas suatu tanah milik yang mereka sewa atau mereka miliki dan para buruh upahan yang melaksanakan kerja mereka di bawah pengawasan yang lainnya untuk memperoleh uang” (Wolf 2004: 4). Selan itu, kita harus membedakan juga petani yang tinggal dekat dengan kota dan berhubungan erat dengan pasar kota beserta urusan penduduk kotanya dengan petani yang tinggal di pelosok-pelosok pedesaan. Petani yang mulai mengirim anak-anak mereka ke pabrik-pabrik tentu mempunyai perbedaan sikap dan harapan atas perubahan dibanding petani-petani yang terus-menerus memerangkap diri dan keturunannya dalam ruang sumpek ekonomi saradiri mereka yang sempit.

Dalam bahasannya tentang kedudukan antropolog dalam penelitian petani, Wolf menempatkan tuan tanah, pedagang, pemimpin politik, pendeta di pedesaan sebagai simpul-simpul penghubung antara petani dengan jaringan pasar dan politik yang lebih luas. Oleh karena itu, pengamatan atas kelas-kelas ini penting dalam memahami kehidupan petani dan untuk menemukan peran penting mereka dalam setiap pergolakan politik petani (Wolf ibidiem).

Secara umum, pandangan Wolf terhadap petani melanjutkan tradisi Marxis yang tidak begitu saja membungkus petani ke dalam satu kategori sederhana sebagai pengolah lahan, tetapi melihat adanya keragaman kategori yang menjadikan identitas petani dalam kehidupan nyata begitu beragam. Sebagaimana batasan petani yang menekankan ciri utama petani yaitu keterhubungannya dengan jaringan ekonomi-politik yang lebih luas—dan inilah yang membedakan petani dengan pengolah lahan primitif pra-masyarakat negara—Wolf melihat arti penting elit-elit desa yang mempunyai kekerapan hubungan dengan pusat-pusat politik dan ekonomi di perkotaan. Pandangan Wolf ini mengingatkan kita pada gagasan Marx dan Engels bahwa petani pada dirinya sendiri tidak memiliki kodrat revolusioner sebelum dipancing oleh orang kota atau orang yang mempunyai ikatan erat dengan kota.

II

Masyhur kiranya sinisme Marx dan Engels terhadap potensi revolusioner petani. Beberapa komentar mereka memang terdengar mengecilkan arti penting petani. Dalam analisisnya tentang Bonapartisme dalam revolusi 1848, Marx menyatakan bahwa individualisme petani kecil yang dominan di wilayah pedesaan Perancis, mencegah kemanunggalan mereka sebagai kelas dengan kesadaran kolektif yang jelas. “Bagaikan kentang dalam karung yang tak lebih dari sekarung kentang”, cara produksi individual mereka akan selalu mengungkung petani satu sama lain dengan hubungan yang minimal. Keadaan inilah yang membuat mereka cenderung mengikuti pemimpin-pemimpin otoriter seperti Louis Bonaparte (Marx 1962/1865, MESW vol.1: 334). Ciri sosial petani ini juga diiyakan Engels. Dalam Peasant Question, Engels berkomentar tentang petani yang “... sejauh ini mewujudkan diri mereka sendiri sebagai faktor dalam kekuatan politis hanya karena keacuhan mereka yang berakar dalam ketertutupan kehidupan pedusunan. Keacuhan pada khalayak ramai penduduk ini merupakan tiang penyangga terkuat tidak hanya korupsi parlemen di Paris dan Roma tapi juga dari despotisme Rusia.” (Engels 1962, op.cit: 420) Sikap politis petani utamanya berkenaan dengan oportunisme yang “tidak pernah banyak memikirkan hal-hal politik sebelum terjadinya revolusi” (Marx 2000/1896, op.cit: 15). Dalam revolusi sosial yang digerakkan kelas lain, tidak jarang petani cenderung bersikap konservatif dan reaksioner. Sebabnya tiada lain karena berbeda dengan proletar, petani masih memiliki sarana produksi sendiri sehingga kepentingan mendasar mereka adalah mempertahankan kepemilikan atas sarana produksi tersebut. Oleh karena itu, berhadapan dengan perubahan mereka konservatif.

Revolusi-revolusi yang digerakkan petani, menurut Marx dan Engels, tidak pernah berhasil karena “... masyarakat tani sulit menghasilkan kesepakatan yang sungguh-sungguh sehingga tidak pernah bisa melakukan gerakan kemerdekaan yang berhasil.” Bahkan, untuk bergerak saja, petani membutuhkan pancingan dari masyarakat perkotaan yang lebih mudah bergerak, tercerahkan, dan lebih terkonsentrasi (Marx ibidiem). Kesimpulan ini muncul dari kajian sejarah atas revolusi-revolusi petani di Jerman feodal yang menurut Engels menunjukkan mengapa revolusi 1848 di Jerman sama sekali gagal total. Konon, akar kegagalan itu berada jauh di jantung sejarah perlawanan kaum tani Jerman feodal yang digerakkan kelas paling revolusioner saat itu, yaitu kaum pedagang kota (burgher).

Kesinisan Marx dan Engels terhadap potensi revolusioner petani yang berakar pada corak produksi mereka inilah yang menjadi salah satu sebab pilihan jatuh pada proletar sebagai kelas revolusioner dalam masyarakat kapitalis. Pandangan ini terus diikuti oleh marxis-marxis setelahnya, meski dengan serba perombakan.

Di antara para marxis awal, sambil menempatkan proletar industri sebagai garda depan revolusi Lenin memberikan perhatian khusus pada arti penting terhadap ‘sejenis’ petani tertentu sebagai sekutu proletariat. Alih-alih menjejalkan beragam golongan petani ke dalam satu kategori, Lenin menekankan pentingnya memperhatikan pelapisan dalam masyarakat petani. Menurut Lenin, harus dipilah antara petani miskin dan buruh tani dengan petani kaya. Petani miskin dan buruh tani merupakan golongan paling sengsara dalam proses pembentukan masyarakat kapitalis Rusia. Karena kedudukan mereka di lapisan terhisap inilah, petani miskin dan buruh tani merupakan sekutu terpenting proletar perkotaan. Arti penting petani miskin dalam revolusi juga terkait dengan persoalan latar sosial-budaya di Rusia yang baru beranjak setapak ke dalam masyarakat industri. Sedikit sekali jumlah proletar industri di sana. Oleh karena itu, teori revolusi Lenin menempatkan ‘sejenis’ petani, yaitu petani miskin dan buruh tani ke dalam barisan kelas terhisap yang berpotensi revolusioner.

Perpecahan antara kubu Bolsheviks yang dipimpin Lenin dengan kubu Mensheviks dibawah lindungan Plekhanov pun bermula dari tafsir atas teori revolusi Marx. Plekhanov dan Mensheviks melihat bahwa Rusia belum matang untuk bergerak ke revolusi sosialis karena feodalisme sama sekali masih kuat. Oleh karena itu, revolusi yang di dalamnya proletar menjadi bagian haruslah revolusi borjuis untuk meruntuhkan feodalisme lebih dahulu. Proletar harus bekerja sama dengan kaum borjuis progresif. Bolsheviks menolak teori ini. Menurut mereka, borjuis tidak bisa dijadikan sekutu dan revolusi Rusia haruslah revolusi sosialis yang harus dipimpin proletar dengan dukungan kaum tani miskin.

Dalam buku The Development of Capitalism in Russia, Lenin membahas juga dampak revolusi terhadap petani Rusia. Menurutnya, revolusi yang terjadi mempengaruhi golongan petani dalam dua hal. Pertama, di dalam revolusi, tetap bertahannya ekonomi feodal dan hubungan perhambaan disertai pemiskinan dan runtuhnya ekonomi petani merupakan sumber pergerakan revolusioner petani karena mendorong petani menjadi massa. Kedua, revolusi menampakkan keragaman ideologi politik yang berakar dari keragaman serta kontradiksi kelas di tingkat massa. Hal ini memperjelas pertentangan antara lapisan pemilik lahan dan kecenderungan proletariat dalam komuniti petani (Lenin 1965: 192). Dari titik ini Lenin mengajukan teorinya bahwa petani miskin dan buruh tani yang terperangkap dalam bentuk-bentuk hubungan produksi pertanian kapitalistik boleh dikatakan mendekati ‘nasib’ proletar. Oleh karena itu, revolusi sosialis di Rusia harus juga membangkitkan kodrat revolusioner petani dan menyertakan golongan terhisap ini dalam perjuangan menumbangkan tatanan lama.

III

Secara umum, dapat dikatakan bahwa bahasan Marx dan Engels atas petani berkisar pada dua sudut pandang, yaitu politik dan ekonomi. Sudut pandang politik dikaitkan dengan persoalan petani sebagai suatu golongan sosial dalam masyarakat dan kedudukan petani dalam dinamika politik. Sedangkan sudut pandang ekonomi berkisar pada persoalan ciri mendasar kegiatan produksi petani, terutama dalam naungan ragam produksi kapitalisme.

Marx menempatkan ekonomi petani sebagai warisan ekonomi feodal yang bertumpu pada produksi nilai-guna untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dengan sedikit sekali komoditi. Pandangan ini muncul hampir di semua tulisan Marx tentang petani, terutama bahasan tentang petani Perancis di masa menjelang dan segera setelah pecahnya revolusi borjuis akhir abad ke-18. Ciri produksi petani ini, yaitu produksi nilai-guna untuk saradiri semata dan pemanfaatan tenaga-tenaga kerja dari lingkup keluarga menutup petani dari pasar, baik dari pasar komoditi maupun dari pasar tenaga kerja. Ketertutupan inilah yang akan menghalangi ekonomi petani berkembang. Seperti halnya industri gilda feodal yang lenyap disapu sistem pabrik kapitalis, ekonomi petani tak terelakkan lagi akan musnah dihantam hukum perkembangan kapitalisme. Irasionalitas ekonomi petani yang mengandalkan hubungan-hubungan kekerabatan dan patronase tidak memungkinkan produksi petani bertahan lebih lama sebagai suatu kegiatan ekonomi. Seperti industri-industri kecil feodal yang diserap kapitalis besar, maka pertanian kecil akan lenyap pula diserap kapitalis pertanian.

Salah satu wajah kapitalisme adalah ekonomi pasar, meski pasar bukanlah anak kapitalisme. Sebelum fajar kapitalisme menyingsing, pasar sudah ada. Tetapi, kapitalisme menciptakan sebuah sistem pasar global yang menghubungkan berbagai sudut dunia ke dalam jaringan pertukaran barang yang semata-mata dihasilkan untuk memperoleh laba.
 
Pertentangan antara ekonomi kapitalis dan bukan-kapitalis merupakan salah satu tema penting dalam ilmu sosial. Ekonomi petani di Dunia Ketiga berada di persilangan antara dua tatanan ini. Hubungan produksi dan pertukaran dalam rumah tangga tani secara umum adalah transaksi bukan-pasar. Tetapi, rumah tangga petani punya kaitan dengan tatanan ekonomi yang lebih luas melalui pasar. Di satu sisi, daripada mengabdikan diri sepenuhnya untuk menghasilkan komoditi demi laba, petani menjalankan kegiatan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Rumah tangga petani pun di samping sebagai unit konsumsi, merupakan suatu unit produksi. Produksi pertanian mengandalkan anggota-anggota rumah tangga bekerja mengolah lahan mereka sendiri daripada menggantungkan diri pada pekerja upahan. Selain itu, norma dan nilai budaya memandu sebagian besar perilaku ekonomi petani (Wolf op.cit).

Di sisi lain, hasil produksi pertanian rumah tangga petani merupakan bagian dari pasar pangan secara keseluruhan. Lewat pertukaran pasarlah beras petani mencapai para proletar industri, tentara, pegawai, atau pedagang di kota-kota. Lagi pula, karena tidak semua barang konsumsi bisa dibuat oleh rumah tangga petani, maka sebagian pemenuhan kebutuhan saradiri juga melalui pasar. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa petani berada di dalam pasar tetapi bukan bagian darinya (Bernal 1994: 794).

Victoria Bernal, dari hasil penelitiannya di Sudan, menyimpulkan bahwa ketika kapitalisme menjadi ragam produksi dunia dan merambah hingga sudut pedesaan, ekonomi petani yang mengisi sebagian besar Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terkapitaliskan. Petani menjalankan kegiatan produksi menurut rasionalitas logika kapitalis, yaitu perolehan keuntungan sebesar-besarnya, sekaligus juga bertindak berdasarkan ekonomi tradisional yang berlandaskan hubungan-hubungan kekerabatan, ketetanggaan, dan patronase (ibidiem).

Untuk bisa bertahan dari badai kapitalisme, petani harus mampu memeras tenaga kerja yang tersedia di unit produksinya sendiri. Ketidakmampuan petani meningkatkan kekuatan produksi yang membutuhkan curahan kapital—seperti permesinan—menjadikan kerja-kerja tak-diupah anggota-anggota rumah tangga merupakan satu-satunya cara petani bersaing dengan hasil produksi kapitalis pertanian. Petani harus bisa menjual hasil taninya di bawah biaya produksi dengan menghapuskan nilai-kerja mereka dari daftar ‘biaya produksi’. Keadaan inilah yang menyebabkan petani-petani kecil yang diramalkan Marx bakal lenyap seketika kapitalisme merambah pertanian, ternyata tetap bertahan. Meski kapitalisme telah menjadikan petani-petani kecil Dunia Ketiga hidup enggan, mati tak mau dalam formasi sosial kapitalis.

Kepustakaan
Bernal, V. (1994) Peasant, Capitalism, and (Ir)rationality, dalam American Ethnologist, 21 (4).
Engels, F. (1892) The Mark, lampiran dalam Socialism. New York: International Publisher, h. 77-93.
Engels, F. (1956/1871) The Peasant War in Germany. Moscow: Foreign Languages Publishing House.
Lenin (1965) Marx, Engels, Marxism. Moscow: Progress Publisher.
Guimãer, J.P de C. (2002) A Landscape of Contrcts. Utrech: Universiteit Utrech.
Marx, K. (1867/2004) Kapital Buku I. Jakarta: Hasta Mitra.
Marx, K. (2000/1896) Revolusi dan Kontra-revolusi. Yogyakarta: Jendela
Marx, K. & F. Engels (1962) Selected Works (MESW) 2 volume. Moscow: Foreign Language Publishing House.
Meillasoux, C. (1980) The Social Organisation of the Peasantry, dalam David Seddon (ed.) Relation of Production. London: Frank Cass.
Wolf, E. (1985) Petani. Jakarta: Rajawali Press untuk YIS.
Wolf, E. (2004) Perang Petani. Yogyakarta: Insist Press.

Sumber : http://panggih.multiply.com/journal/item/7/Marx-Engels_tentang_Petani?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

1 komentar:

  1. bisa minta tolong dicarikan perbedaan pertanian kecil dengan pertanian besar ngakk?
    soalny masalah pertanian besar susah dicari pembahasan nya terbatas...

    pertanian besar terutama contoh yang dikelolah di indonesia pertanian besarnya?
    di search ngak ada...

    BalasHapus