Senin, 15 Agustus 2011

Filled Under:

Merdeka dari Agrokolonial

Share
Kita prihatin, bahwa di usia kemerdekaan ke 66 tahun status ekonomi dan sosial kaum tani masih mirip dengan masa kolonial dulu. Kondisi ini terjadi akibat watak pembangunan pertanian selama ini masih mewarisi model pertanian kolonial dulu. Dalam hal teknis teknologi dan modernisasi tentu saja terdapat perkembangan. Tetapi tidak berarti kemajuan teknis mencerminkan kemandirian petani.
Di tahun 1870 Belanda menerapkan politik balas budi (politik etis) berupa program pembangunan infrastruktur kanal irigasi, jalan raya, jembatan, rel kereta api, hingga pelabuhan. Termasuk pembangunan sekolah, salah satunya yang penting adalah sekolah pertanian (landbouw school).
Meski namanya balas budi, tetapi tujuannya adalah untuk memuluskan mobilisasi kapital perusahaan partikulir Belanda membuka perkebunan (landbouw onderneming) demi menguasai keuntungan perdagangan dunia. Kolonialisme Belanda di Indonesia adalah kolonialisasi pertanian (agrokolonial) baik secara teritori pertanian (lahan) dan juga model, cara dan orientasi produksi pertanian.
Modernisasi pada model produksi pertanian adalah diperkenalkannya cara budidaya perkebunan luas secara monokultur (plantation/ estate). Sebelum kolonial Indonesia tidak mengenal budidaya secara monokultur, seperti teh, kopi, karet, tebu, juga tembakau.
Modernisasi cara produksi yaitu diterapkannya pola hubungan kerja majikan-buruh dan spesialisasi kerja. Tuan-tuan administratur Belanda mempekerjakan para koeli kebon dan koeli pabrik dengan upah murah, di bawah pengawasan mandor.
Modernisasi pertanian juga merubah orientasi produksi yaitu untuk menghasilkan komoditas ekspor atau pasar internasional, bukan pangan untuk kebutuhan lokal dan dalam negeri. Hasilnya komoditas hasil bumi Indonesia dikenal di manca negara, tetapi kelaparan dan kemiskinan ada dimana-mana waktu itu. Sementara perusahaan partikulir Belanda menuai keuntungan berlipat. Realitas inilah yang disebut para ahli pertanian kritis sebagai modernization without development.
Agrokolonial hari ini
Model produksi monokultur tetap ada sampai saat ini bahkan direncanakan pemerintah terus diperluas melalui pengembangan food estate. Pemerintah pusat dan daerah pun terus berlomba mengundang investor untuk diberikan lahan perkebunan. Sementara program distribusi lahan untuk tuna kisma (buruh tani) tidak ada. Akibatnya jumlah petani gurem dan buruh tani lebih banyak hari ini dari pada masa penjajahan dulu.
Cara produksi pertanian saat ini hanya menempatkan petani sekedar tenaga kasar (koeli). Kebijakan pemerintah di sektor pertanian lebih mendorong perusahaan besar agribisnis untuk menguasai produksi benih, pupuk, pestisida, termasuk penyediaan jasa-jasa pertanian lain seperti kredit dan distribusi. Adapun petani ditempatkan sebagai konsumen yang harus membeli semua input tadi. Akibatnya, transfer ekonomi mengalir dari desa ke kota. Dengan makin banyaknya perusahaan pangan besar dan meningkatnya impor pangan, desa bahkan cuma dijadikan pasar saja.
Orientasi produksi yang mengarahkan pertanian untuk memenuhi permintaan pasar (agribisnis), termasuk pasar internasional, menempatkan petani sebagai price taker semata. Tingginya volatilitas harga pertanian, membuat petani sering menjual hasil panen dibawah ongkos produksi. Akibatnya kemiskinan, termasuk kejadian kelaparan dan gizi buruk paling banyak terjadi di keluarga tani.
Agroekologi
Pembangunan pertanian baru yang berjiwa kemerdekaan diperlukan agar kaum tani terbebas dari praktek agrokolonial di atas. Menurut penulis model pembangunan pertanian yang tepat untuk membawa petani merdeka adalah model agroekologi yang berbasiskan keluarga tani. Agroekologi atau pertanian ekologis adalah model pertanian yang mengupayakan agar siklus agro-ekosistem berjalan dengan baik untuk menghasilkan produk pertanian. Agroekologi bukan sekedar konstruksi baru dalam aspek agronomi, tetapi lebih luas lagi menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan politik kaum tani.
Model produksi agroekologi adalah polikultur (multicroping) yang terintegrasi dengan peternakan, sehingga seluruh rantai agroekosistem saling berhubungan (tidak ada yang putus). Hubungan agroekosistem (tanaman, ternak, termasuk mikroorganisme) terbukti secara teori dan praktek diberbagai belahan dunia menghasilkan panen yang lebih produktif dan lebih sehat. Praktek inilah yang sebagian dikenal dengan low external input sustainable agriculture (LEISA). Dampaknya ongkos produksi tani menjadi murah dan bisa memulihkan lahan-lahan kritis. Pemerintah yang ingin rakyat taninya merasakan kemerdekaan, harusnya memberikan akses tanah pertanian untuk produksi agroekologi.
Cara produksi agroekologi bukanlah berbasiskan perusahaan (corporate based), tetapi keluarga tani. Cara produksi ini dimaksudkan agar kelak setiap lini usaha pertanian dari hulu ke hilir bisa kembali dikerjakan oleh petani. Sehingga petani tidak perlu membeli (tergantung) ke perusahaan agribisnis lagi. Langkah ini bertujuan agar kaum tani di Indonesia secepatnya naik kelas dari buruh tani menjadi petani dan pengusaha kecil dan menengah yang mandiri. Bila lumbung benih, produksi pupuk dan pengendali hama hayati, serta jasa pertanian dikelola sendiri oleh kaum tani, maka visi Indonesia tanpa buruh tani bukanlah mimpi di siang bolong.
Orientasi produksi yang terintegrasi dengan pemenuhan pangan sehat untuk keluarga dan kebutuhan nasional lebih menjamin kedaulatan pangan nasional. Dengan cara ini, Indonesia tidak lagi berstatus defisit perdagangan pangan (net food importer).
Seperti sikap para pejuang kemerdekaan yang memandang perjuangan melawan kolonialisme sebagai pilihan antara hidup dan mati. Maka pilihan untuk menyudahi agrokolonial dengan agroekologi juga soal hidup dan mati. Bukankah dengan model agrokolonial keluarga tani cuma untuk dieksploitasi. Melalui agroekologi kita merebut kembali kemerdekaan kaum tani.
Penulis:  Tejo Pramono, Penggiat Agroekologi dan Pengurus Organisasi Gerakan Petani Kecil Internasional La Via Campesina.

0 komentar:

Posting Komentar